Pengembangan Teknologi Pasca Panen Bawang Putih dalam Rangka Ketersediaan Pangan dan Perbenihan Nasional

Salah satu permasalahan yang berpengaruh terhadap produksi bawang putih adalah ketersediaan benih yang siap ditanam karena masa dormansi benih bawang putih. mencapai 4-5 bulan setelah masa panen. Penyimpanan adalah penanganan pascapanen yang memiliki peranan yang penting pada bawang putih karena dapat digunakan untuk mengendalikan ketersediaan benih bawang putih. Penyimpanan benih dalam cold storage yang bersuhu 5- 10° C selama dua minggu dapat mempercepat pertumbuhan bawang putih hingga 2 bulan. Secara umum tujuan penelitian adalah mengembangkan teknologi pascapanen bawang putih untuk mendukung pencapaian swasembada bawang putih. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa air UFBs dapat dijadikan solusi terhadap permasalahan dormansi bawang putih khususnya di Indonesia. Banyak keunggulan yang ditawarkan dari penggunaan teknologi terbaru ini. Pematahan dormansi menggunakan air UFBs bukan hanya mempercepat waktu dormansinya namun nantinya juga dapat mengatur waktu tanam sesuai dengan yang diinginkan. Luaran wajib yang dihasilkan adalah paten sederhana (HKI) dan teknologi tepat guna berupa SOP teknologi pascapanen bawang putih untuk bibit dan percepatan perkecambahan bibit bawang putih. Penelitian ini juga melibatkan mahasiswa S1 dan S2. Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) yang ditargetkan adalah 6. Teknologi percepatan dormansi benih bawang putih telah diujicobakan ke kebun petani di Tegal. 

Gambar 1. Rektor IPB, Prof Dr Arif Satria, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Tegal, M Taufik Amrozi dan Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Tegal, Ir Toto Subandriyo MM beserta kelompok tani Desa Tuwel, Ahkmad Maufur saat melakukan panen bawang putih hasil inovasi.

https://suarabaru.id/2021/01/16/pertama-di-indonesia-panen-benih-bawang-putih-hasil-inovasi/

Komersialisasi Bawang Merah Varietas Baru untuk Stabilisasi Suplasi Bawang Merah Nasional

Pada penelitian tahun sebelumnya PKHT telah menghasilkan varietas bawang merah SS Sakato dan Tajuk. Untuk meningkatkan stabilitas produksi dan ketersediaan benih varietas unggul bawang merah yang telah dihasilkan maka dilakukan penelitian komersialisasi bawang merah varietas baru dalam rangka peningkatan produktivitas, kualitas dan kontinuitas suplai bawang merah. Tujuan khusus dari penelitian adalah meningkatkan ketersediaan benih bermutu dari varietas unggul baru melalui: 1) produksi dan diseminasi benih varietas unggul baru dalam rangka komersialisasi hasil riset, 2) meningkatkan teknologi budidaya bawang merah ramah lingkungan dan 3) mengembangkan model bisnis dan sistem informasi kelayakan usaha hortikultura bawang merah.
Kegiatan ini melibatkan pengguna varietas, yaitu produsen benih, petani, produsen bawang merah olahan dan konsumen (pemasar) sehingga produk yang dihasilkan dapat segera diterima oleh pasar. Kegiatan akan dilaksanakan di Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat (dataran tinggi) dan di Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur (dataran rendah). Luaran yang dihasilkan pada tahun pertama adalah telah tersedianya benih bawang bawang merah bersertifikat sebanyak 44 ton berat basah atau kira-kira 31, 3 ton berat kering (Benih SS Sakato dan Tajuk). Selain itu, diperoleh tiga marka DNA penciri varietas untuk bawang merah varietas Tajuk, SS Sakato dan Bima Brebes; 1 dokumen SOP produksi benih bawang merah, 1 dokumen model bisnis benih bawang merah dan 1 publikasi pada jurnal nasional terakreditasi

Gambar 1. Kegiatan Penelitian di Solok, Sumatera Barat

Gambar 2. Kegiatan Penelitian di Nganjuk, Jawa Timur

Peningkatan Ketersediaan Benih Dan Varietas Cabai Rawit Bermutu Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Petani Cabai Di Indonesia

Cabai merupakan komoditas hortikultura strategis di Indonesia yang memiliki dampak yang kuat pada inflasi, karena dikonsumsi sebagian besar penduduk. Permasalahan utama komoditas ini adalah ketidaksesuaian sebaran waktu, tempat, jumlah produksi dan konsumsi bulanan, kurangnya lahan subur dan sesuai, serta anomali cuaca akibat perubahan iklim global. Cabai rawit merupakan komoditas hortikultura yang memiliki periode panen yang panjang sehingga sangat rentan terhadap anomali iklim. Adanya perubahan iklim yang sangat drastis, menyebabkan tanaman cabai rawit di beberapa sentra produksi mengalami kegagalan panen yang berakibat terhadap berkurangnya pasokan cabai nasional. Disamping itu kertersediaan lahan dengan kesesuaian tinggi berpengaruh besar terhadap produksi cabai nasional.

Kegiatan pengembangan varietas cabai rawit dilakukan untuk mengatasi permasalahan rendahnya produktivitas dan tingginya biaya produksi. Permasalahan anomali iklim dapat diatasi dengan pengembangan varietas cabai rawit berumur panen pendek. Pemanfaatan lahan dengan tingkat salinitas tinggi untuk produksi cabai dapat dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi masalah berkurangnya lahan subur di Indonesia. Pengembangan varietas cabai rawit toleran salinitas saat ini penting untuk meningkatkan produktivitas cabai di lahan salin. Varietas-varietas ini diharapkan dapat menjadi substitusi impor serta meningkatkan nilai tambah cabai rawit yang akan mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat petani.

Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT), Institut Pertanian Bogor (IPB) telah berhasil mengakuisis plasma nutfah cabai rawit pada penelitian sebelumnya. Hasil evaluasi dan karakterisasi plasma nutfah tersebut ialah varietas yang memiliki periode panen pendek yaitu varietas Lobita, dan varietas yang toleran salinitas yaitu varietas Bonita. Dengan demikian, penelitian cabai rawit ini telah mencapai Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) Level 7. Saat ini kedua varietas belum terdaftar pada PVTPP. Harapannya melalui penelitian ini kedua varietas dapat didaftarkan dan selanjutnya didiseminasikan, sehingga manfaatnya dapat dirasakan penuh oleh masyarakat khususnya petani.

Tujuan umum penelitian ini adalah meningkatkan ketersediaan benih dan varietas cabai rawit bermutu dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani cabai Indonesia. Tujuan khusus penelitian ini yaitu: 1) pendaftaran varietas cabai rawit dengan periode panen pendek serta varietas cabai rawit toleran salinitas; 2) produksi massal benih sumber varietas unggul cabai rawit; dan 3) pengembangan Standard Operating Procedure (SOP) produksi cabai rawit.  Luaran yang telah dicapai dari kegiatan ini adalah   satu varietas cabai rawit Bonita yang sudah dilepas oleh Mentri Pertanian dengan SK nomor  343/Kpts/SR.130/D/IV/2021,   benih cabai rawit BONITA sebanyak 5 kg,  satu artikel jurnal pada Jurnal Agronomi Indonesia.   Selain itu telah   dilakukan uji keunggulan calon varietas  cabai rawit LOBITA, dan sedang proses  uji kebenaran  cabai rawit LOBITA.

Gambar 1.  Cabai rawit BONITA

Gambar 2. Keragaan pertanaman produksi benih sebar cabai rawit LOBITA di kebun percobaan PKHT Pasirkuda Bogor

Pembahasan Analisa Resiko Organisme Pengganggu Tumbuhan (AROPT) Komoditas Non Benih

Dalam memenuhi kebutuhan pangan negeri beberapa komoditas pertanian masih harus diimpor. Hal ini karena produksi dalam negeri yang masih terbatas atau memang produk tersebut tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Komoditas yang diimpor dapat membawa dan menjadi jalan masuk bagi organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Oleh karena itu harus dilakukan analisis resiko terhadap komoditas yang akan diimpor untuk meminimalkan resiko masuknya OPT ke wilayah negara Indonesia. Analisis resiko ini menjadi salah satu pertimbangan bagi pemerintah (dalam hal ini Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian) untuk melakukan impor komoditas pertanian. Analisis resiko ini juga menjadi dasar bagi pemerintah untuk memberikan rekomendasi tindakan-tindakan yang harus dilakukan dalam melakukan impor komoditas pertanian tertentu. Rekomendasi ini ditujukan kepada importir atau negara eksportir untuk dijalankan agar komoditas yang diimpor dapat masuk ke wilayah Indonesia. Bila produk yang diimpor tidak memenuhi ketentuan yang telah direkomendasikan maka komoditas tersebut dapat diperlakukan menjadi empat, yaitu : ditolak, diberi perlakuan sesuai rekomendasi (jika tersedia), dimusnahkan, atau dikembalikan ke negara pengekspor.

Study And Standar Design For Teaching Factory (TEFA)

Dalam upaya menyempurnakan pelaksanaan kegiatan di TEFA, maka diperlukan kajian Study and Standard Design for Teaching Factory (TEFA) dalam Program YESS yang terkait dengan pelaksanaan komponen 1 Program YESS, yaitu Rural Youth Transition To Work, dan Sub Komponen 1.1. Linking Education and Training to Jobs. Hasil kajian ini akan menjadi dasar dalam pelaksanaan layanan TEFA dan fasilitasi yang akan diberikan melalui Program YESS atau dukungan kegiatan lainnya. 

Tujuan dan Manfaat
Kegiatan ini bertujuan untuk mendesain rancang bangun/tata kelola TEFA (laboratorium
untuk pengembangan kewirausahaan). Adapun manfa’at yang akan diperoleh dari kegiatan ini adalah sebagai bahan pertimbangan dalam rangka membangun tata kelola dan desain Teaching Factory (TEFA) yang mampu memberikan manfaat untuk pengembangan kewirausahaan pemuda pertanian pada Polbangtan (Bogor, Malang dan Gowa) dan SMK-PP Banjarbaru, sehingga berdampak positif pada mengembangkan ekonomi pedesaan.

Lingkup Kegiatan

  • Menyusun rancangan bangun konsep standardisasi TEFA untuk Polbangtan dan SMK-PP di  lokasi Program YESS.
  • Membuat konsep tata ruang, tata letak dan tata kelola TEFA pada Polbangtan dan SMK-PP di lokasi Program YESS dalam rangka menyiapkan calon wirausaha muda dan tenaga kerja yang kompeten.
  • Menyusun standard sarana dan prasarana pendukung laboratorium TEFA di masing-masing Polbangtan dan SMK-PP.

Keluaran
Keluaran/output dari kegiatan ini adalah berupa Dokumen Hasil Study and Standard Design for Teaching Factory (TEFA) serta kebutuhan sarana/fasilitas TEFA yang akan dibiayai dari pendanaan Loan Program YESS untuk mendukung TEFA.

         Gambar 1. Kunjungan Standard Design for Teaching Factory (TEFA)

Gambar 2. FGD Study and Standard Design for Teaching Factory (TEFA)

Kajian Pengembangan Hortikultura Berorientasi Ekspor

Dengan nilai ekonomi yang tinggi, produk hortikultura mampu memberikan pendapatan lebih besar dibandingkan produk lainnya di sektor pertanian. Di tengah resesi ekonomi yang dialami Indonesia, sektor pertanian merupakan satu-satunya sektor yang tumbuh diantara sektor industri, perdagangan, kontruksi, dan pertambangan. Salah satu sub sektor pertanian yang memiliki potensi pengembangan yang tinggi adalah hortikultura. Komoditi hortikultura memiliki peluang yang sangat  besar untuk dikembangkan. Dalam sektor pertanian, sub sektor hortikultura berkontribusi tidak kurang dari 14% terhadap GDP sektor pertanian, bahkan jika dihitung berdasarkan luas lahan,maka GDP sub sektor hortikultura adalah yang tertinggi. Keunggulan lain yang tak kalah penting dari produk hortikultura adalah memiliki nilai ekonomi dan potensi ekspor yang tinggi. Hal ini sejalan dengan kebijakan Kementerian Perekonomian yang dijabarkan dalam Quick Wins (QW.3) yaitu pengembangan hortikultura berorientasi ekspor. Walaupun beberapa komoditas volume ekspornya masih kecil namun dengan harga di pasar internasional yang semakin tinggi dan permintaan yang semakin naik, maka hal ini menjadi sinyal bagi produsen dan komoditi florikultur dapat dikembangkan untuk memenuhi captive market di beberapa negara.

Untuk itu diperlukan suatu kajian pengembangan hortikultura berorientasi ekspor sebagai referensi dalam pengambilan kebijakan nasional dan sebagai acuan pengembangan ekspor bagi lembaga terkait. Tujuan penyusunan Kajian Pengembangan Hortikultura Berorientasi Ekspor ini adalah: 1) Mengidentifikasi isu dan tantangan yang menghambat pengembangan komoditas hortikultura, 2) Menyusun strategi dan langkah-langkah dalam rangka peningkatan produksi, investasi, daya saing dan kelancaran proses rantai pasok komoditas hortikultura yang berorientasi ekspor di seluruh wilayah Indonesia, 3) Pengembangan hortikultura dalam rangka pencapaian target pertumbuhan ekonomi (PDB) Hortikultura dan Nilai Tukar Petani sesuai dengan arahan RPJMN, 4) Kebijakan-kebijakan yang perlu diambil oleh pemerintah untuk mendukung komoditas hortikultura yang berorientasi ekspor. Adapun output dari kajian ini adalah rekomendasi kebijakan pengembangan komoditi hortikultura berorientasi ekspor dengan batasan komoditi yaitu buah-buahan dan florikultur.