Diseminasi Bibit dan Teknologi Jeruk

Diseminasi bibit dan teknologi budidaya jeruk dilaksanakan dengan tujuan untuk mengenalkan jeruk berkulit jingga ke masyarakat sebagai langkah awal dalam upaya mengembangkan sentra produksi jeruk berkulit jingga.  Pada tahun ini, diseminasi difokuskan di Kabupaten Bogor mengingat ketersediaan bibit masih sedikit dan hanya untuk jenis jeruk Borneo Prima (BP) dan Garut dataran rendah (GDR).  Bibit jeruk yang didiseminasikan adalah bibit jeruk hasil perbanyakan secara okulasi yang telah berumur 6-12 bulan.

Jumlah bibit jeruk yang telah didiseminasikan adalah sebanyak 800 pohon dengan penerima bibit sebanyak 16 orang petani yang berlokasi di empat wilayah Kabupaten Bogor.  Jumlah petani dimasing-masing wilayah dapat dilihat pada tabel berikut :

Selain menerima bibit, petani mitra diseminasi juga mendapat kawalan teknologi berupa penyuluhan/pendampingan penerapan teknologi budidaya jeruk selama 6 bulan (Juli – Desember 2014).  Paket teknologi budidaya yang akan didiseminasikan meliputi teknik penanaman, pemupukan, pemangkasan, dan perawatan tanaman. Jadwal penyuluhan/pendampingan disesuaikan dengan fase pertumbuhan tanaman.  Sampai saat ini, telah dilakukan pendampingan untuk penanaman.  Seluruh bibit yang didiseminasikan telah ditanam oleh petani mitra dengan menerapkan SOP yang dikembangkan untuk jeruk.

Pendampingan petani mitra untuk penanaman bibit jeruk berkulit kuning jingga di beberapa lokasi di Kabupaten Bogor.

Rapat Koordinasi Kebijakan Pengembangan Cabai dan Bawang

rakor1 rakor2

Cabai dan bawang merah merupakan dua komoditas strategis yang ditetapkan sebagai bahan pangan pokok selain beras, jagung, dan kedelai.  Selain itu sebagai bahan pangan pokok yang tidak tergantikan, cabai dan bawang juga merupakan komoditas hortikultura yang paling banyak diusahakan oleh masyarakat. Komoditas tersebut menjadi perhatian serius pemerintah karena keduanya memberikan andil yang cukup signifikan dalam menentukan inflasi.

Rapat Koordinasi Kebijakan Pengembangan Cabai dan Bawang diselenggarakan sebagai upaya untuk menjaga kontinuitas produksi, terpenuhinya pasokan, serta stabilisasi harga cabai dan bawang merah.  Acara yang digagas oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian ini diselenggarakan di Ruang Rapat Hotel Santika Bogor pada tanggal 29 Februari 2016 mulai jam 10.00 – 16.30 WIB.  Rakor dihadiri oleh sekitar 30 orang yang berasal dari beberapa instansi, yaitu Sekretaris Ditjen Hortikultura, Direktorat Sayuran dan Tanaman Obat, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura (Puslitbanghorti), Badan Ketahanan Pangan, Perum BULOG, Kementerian Perdagangan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat, Departemen Agronomi dan Hortikultura (AGH – IPB), Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT – IPB), dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian selaku penyelenggara.

Rapat Koordinasi dimoderatori oleh Darda Efendi (Kepala PKHT – IPB) menghadirkan tiga orang pembicara, yaitu Karyawan Gunarso (Perum BULOG), Yanuardi (Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Kementerian Pertanian), dan M. Firdaus (Wakil Dekan FEM dan Kepala Divisi Pemasaran, Kemitraan, dan Kebijakan PKHT – IPB).  Dari Rapat Koordinasi ini diketahui bahwa produksi cabai dan bawang nasional secara agregat dalam satu tahun sebenarnya sudah melebihi kebutuhan konsumsi.  Namun demikian masih sering ditemukan kekurangan suplai dan terjadi fluktuasi harga yang disebabkan adanya kesenjangan suplai antar waktu maupun kesenjangan antar wilayah.

Beberapa hal penting yang menjadi catatan dalam Rakor ini diantaranya adalah :

  1. Perlu dikembangkan suatu Badan Otoritas Pangan atau Badan Pangan Nasional yang bertugas untuk mengelola pangan nasional termasuk cabai dan bawang (suplai, distribusi, pasar, dll.) dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Kehadiran (intervensi) pemerintah dalam hal ini Badan Pangan Nasional diperlukan untuk menjamin ketersediaan dan menjaga kestabilan harga baik pada saat harga tinggi maupun pada saat harga jatuh.
  2. Perlu dikembangkan sistem logistik dan distribusi cabai dan bawang merah yang efisien sehingga dapat mengurangi disparitas harga baik karena kesenjangan antar waktu maupun kesenjangan antar wilayah. Hal ini perlu melibatkan instansi terkait seperti Kementerian Perhubungan.  Sistem logistik dan distribusi ini perlu didukung dengan teknologi dan investasi cold storage.
  3. Perlu adanya edukasi dan promosi konsumen untuk diversifikasi konsumsi cabai dan bawang, baik dalam hal jenis (cabai merah, cabai keriting, cabai rawit) maupun dalam hal bentuknya (produk segar, produk kering, produk bubuk, atau produk olahan beku).
  4. Perlu diupayakan wilayah mandiri pangan (cabai dan bawang merah) melalui pengembangan dan penyebaran kawasan produksi baru. Pengembangan kawasan baru ini perlu dukungan teknologi budidaya mulai varietas unggul, bibit bermutu, teknologi produksi lapang (irigasi, pemupukan, PHT) dan teknologi pascapanen.
  5. Perlu dikembangkan teknologi early warning system yang dapat memantau perkembangan informasi harian dari harga cabai dan bawang merah di beberapa sentra produksi dan pasar induk di Indonesia. Sistem ini dapat dimanfaatkan oleh produsen dan konsumen untuk menentukan harga pasar serta oleh pemerintah untuk menentukan perlunya intervensi dalam menjamin ketersediaan dan stabilisasi harga.
  6. Harga referensi cabai dan bawang merah yang ditetapkan pada tahun 2013 mungkin perlu dikaji kembali apakah masih relevan dengan kondisi saat ini. Harga referensi tersebut dianggap masih terlalu rendah sehingga kurang menguntungkan bagi pelaku usaha agribisnis cabai dan bawang merah nasional.
  7. Perlu dikembangkan sistem pasar yang lebih berkeadilan bagi seluruh pelaku agribisnis cabai dan bawang merah serta harga lebih terjangkau oleh konsumen. Beberapa hal yang dapat dilakukan misalnya adalah sistem contract farming, memperpendek rantai pasar, dan pembinaan pedagang perantara (middle man). (KDa)